ancablogspot.com ©copyright 2013
Beberapa hari sebelum Tim Kementerian Pertahanan,
TNI AL dan TNI AU berangkat ke Rusia untuk melihat
rencana hibah 10 kapal selam Rusia, Tim Kemenhan
dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie
Sjamsoeddin, menemui Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo. Pertemuan Kementerian Pertahanan dengan
Pemerintah Provinsi Jakarta, untuk membahas strategi
pertahanan ibu Kota Negara. Wakil Menteri Pertahanan
meminta rencana pembangunan ruang bawah tanah
di kawasan Monas, diintegrasikan dengan strategi
pertahanan ibukota.
Apakah urusan pembangunan sistem pertahanan
Jakarta, akan menjadi bagian pembicaraan di Rusia ?.
Usulan membangun sistem pertahanan Indonesia
yang lebih baik dan terintegrasi sebenarnya telah
disampaikan Rusia pada tahun 2012. Pada event Indo
Defence 7 November 2012, Rusia menawarkan
kerjasama pembangunan sistem pertahanan udara
advance, karena sistem pertahanan udara Indonesia
saat ini masih sistem rudal dan senjata jarak pendek.
Wakil Kepala Eksportir Persenjataan Rusia,
Rosoboroneksport menawarkan konsep integrasi
pertahanan udara berbasis sistem rudal pertahanan
udara jarak menengah Buk-M2E dikombinasikan
dengan Pantsir-S1 sebagai sistem rudal/senjata anti-
udara jarak pendek. Ahli senjata Rusia mempercayai
konfigurasi tersebut akan efektif melindungi obyek-
obyek vital Indonesia dari seluruh jenis serangan udara
musuh, termasuk serangan udara yang masif.
Kita berharap sistem pertahanan itu bisa lebih advance
lagi, yakni paduan sistem anti-udara jarak jauh S-300
dikombinasikan dengan jarak pendek Pantsir S-1.
Sistem pertahanan yang akan dibangun harus masih
efektif dalam 10-20 tahun ke depan, dimana teknologi
pesawat tempur dan rudal akan semakin canggih.
Namun Indonesia menemukan posisinya dalam
sebuah dilema. Sistem pertahanan udara jarak pendek
Indonesia saat ini, khususnya Jakarta berbasis kepada
sistem NATO. Batalyon Arhanudse 10/1/F Kodam Jaya,
menggunakan Starstreak buatan Inggris. Adapun TNI
AU sedang mendatangkan 6 baterai Oerlikon Skyshield
dari Rheinmetall Air Defence Swiss, untuk pertahanan
jarak pendek bagi sejumlah Pangkalan Udara. Begitu
pula dengan sistem radar Indonesia. Sebagian besar
menggunakan produk Perancis dan Inggris.
Apakah sistem pertahanan jarak pendek dan radar
NATO ini bisa diintegrasikan dengan sistem
pertahanan udara jarak menengah/jauh buatan
Rusia ?.
Kasus yang mirip terjadi dengan negara Turki. Turki
berencana membangun sistem pertahanan udara
jarak jauh dengan mengucurkan dana 4 miliar USD.
Tiga perusahaan besar mengajukan proposal. Pihak
Barat gabungan dari Raytheon dan Lockheed Martin
menawarkan sistem pertahanan udara Patriot. Rusia
melalui Rosoboronexport menawarkan S-300.
Sementara China mengajukan sistem HQ-9.
Namun pilihan Turki tampaknya akan jatuh ke sistem
HQ-9 China. Alasannya China mau berbagi teknologi.
Keputusan finalnya tinggal menunggu persetujuan dari
Menteri Pertahanan Turki Ismet Yilmaz dan Perdana
Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Sejumlah diplomat dan pakar senjata Barat
mengatakan, Turki tidak akan diperbolehkan
mengintegrasikan sistem Turki-China ke dalam Sistem
peringatan dini Turki yang saat ini menggunakan
sistem NATO.
"Saya melihat Turki tetap menantang dan akan tetap
maju. Tapi, saya berpikir tidak mungkin
mengintegrasikan sistem pertahanan udara maupun
sistem anti-rudal buatan Turki-Cina ke dalam radar
NATO, " ujar pakar militer di London yang mencermati
militer Turki. "Turki akan memiliki masalah yang sama
jika memilih sistem Rusia, tapi saya pikir kehadiran
sistem pertahanann udara dan anti-rudal China di
Turki, akan dianggap Amerika Serikat, sebagai
ancaman langsung".
Sekitar setengah dari jaringan radar Turki (air defense
picture), dibiayai oleh NATO, ujar seorang pejabat
pertahanan Turki yang bekerja di NATO. Sistem itu
bagian dari Pertahanan Udara NATO secara
keseluruhan. Apa jadinya jika Turki
menggabungkannya dengan sistem yang diadopsi dari
China ?.
Untuk menghalau ancaman rudal jarak jauh, Turki
membutuhkan satelit serta alat pelacak rudal yang
dedicated serta radar tracking seperti yang dipasang
NATO di Pangkalan Angkatan Udara Kucerik Turki.
Untuk komponen pertahanan anti-pesawat tempur,
Turki membutuhkan gambar yang menyeluruh tentang
wilayah udaranya. Patriot dalam waktu singkat bisa
menanggulanginya dengan radar yang ada di Turki.
Namun lain halnya dengan sistem pertahanan China
jika jadi dibeli. Sistem pertahanan udara itu tidak akan
efektif tanpa integrasi dengan gambaran udara Turki
secara menyeluruh.
Turki bisa saja membangun sistemnya sendiri (stand
alone), tapi hal itu akan mengabaikan milik NATO yang
terpasang di Turki. Turki akan kehilangan setengah
dari kemampuan radar mereka. Turki membutuhkan
data penghubung (interface) untuk membuat sistem
pertahanan udara mereka (Turki-China) bisa
dioperasikan dengan aset NATO di Turki, khususnya
data sistem pengenalan teman dan lawan (friend or
foe). "Data ini rahasia dan tidak bisa diinstal ke dalam
sistem China", ujar seorang pakar militer.
Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah
bagaimana mengintegrasikan sistem IIF (Identification
Friend or Foe (IFF) China ke dalam armada pesawat
tempur F-16 Turki. Sejumlah pakar menilai akan
banyak ketidakcocokan jika sistem NATO dan China
digabungkan ke dalam sistem Pertahanan udara Jarak
jauh milik Turki.
Kasus Turki ini bisa jadi akan dialami oleh Indonesia,
apalagi doktrin pengadaan persenjataan TNI saat ini
adalah menganut azas keseimbangan, yakni
mendatangkan alutsista dari dari Negara Barat
maupun Rusia, untuk mengindari ketergantungan atau
embargo. Dan kini Indonesia merupakan lahan berebut
pengaruh dari negara barat dan Rusia, dalam urusan
suplai alat pertahanan.
Sistem Pertahanan Udara HQ-9 China (photo: china-
defense-mashup.com)
Kehadiran Rusia dan AS di Indonesia.
Menguatnya hubungan militer Indonesia dengan Rusia,
disebabkan kebijakan Amerika Serikat yang melakukan
embargo senjata termasuk suku cadang ke Indonesia
1999-2005, dengan alasan pelanggaran HAM Timor
Timur.
Sejak tahun 2003 hingga tahun 2013, Rusia telah
mengirim 16 pesawat tempur Sukhoi. Rusia pun telah
menjual Helikopter Serang Mi-35, Helikopter Angkut
Mi-17, IFV BMP-3F, APC BTR-80A serta senjata serbu
AK-102.
Bahkan kedua negara melakukan kerjasama untuk
urusan teknis militer, pada tahun 2005. Adapun tahun
2007, Moskow peningkatkan kredit import senjata
kepada Indonesia menjadi 1 miliar USD. Selama
rentang waktu itu, terjadi pembelian sejumlah alutsista
dari Indonesia. Pada tahun 2011, Angkatan Laut kedua
negara juga melakukan latihan anti-bajak laut, yang
merupakan latihan bersama pertama kali militer
Indonesia-Rusia.
Situasi ini akhirnya dibaca oleh Amerika Serikat.
Mereka merasa mulai kehilangan grip penjualan
peralatan militer di Indonesia. Amerika Serikat
bergerak dengan cepat. Pada tahun 2011 mereka
memperbaiki hubungan militer itu dengan hibah/
refurbish pesawat tempur 24 F-16 C/D Block 25. Pada
tahun 2012, Indonesia-AS juga membicarakan
pengadaan helikopter multirole Sikorsky UH-60 Black
Hawk, serta Helikopter Serang Boeing AH-64E. Hingga
saat ini kedua negara telah sepakat mendatangkan 8
helikopter AH-64E.
Tak lama setelah gebrakan AS dengan penjualan
Apache AH-64E, Rusia langsung menawarkan hibah 10
kapal selam, dengan model pengadaan seperti hibah
24 F-16 AS. Rusia ikut memperkuat posisinya.
Kini Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah
akankah Indonesia menerima tawaran Rusia untuk
membangun sistem pertahanan udara yang lebih
canggih, atau beralih ke barat, karena radar dan
pertahanan udara jarak pendek Indonesia berbasis
NATO.(JKGR).
Salam penulis :
ANCA | ancablogspot.com
©copyright 2013
Sent from my BlackBerry® wireless device via Vodafone-Celcom Mobile.