Jumat, 19 April 2013

MEMAHAMI KHARAKTER PRAJURIT TNI

Foto MARINIR menyemut dan menyengat


ancablogspot.com ©copyright 2013
Tentara di manapun di muka bumi ini adalah
salah satu lambang keperkasaan negara, simbol
dari eksistensi kewibawaan untuk melanjutkan
dan melangkah dalam etika pergaulan antar
bangsa. Tentara adalah nadi yang mengalirkan
darah negara untuk mampu bercita-cita dengan
mengawal perjalanannya dari segala bentuk
ancaman dan gangguan eksistensi.
Tentara Indonesia lahir dari rahim Ibu Pertiwi
yang secara gagah berani memproklamirkan
kemerdekaan jamrud Sabang Merauke. Tanggal
17 Agustus 1945 diumumkan kemerdekaan
Republik Indonesia ke seluruh dunia. Tentu saja
sang Penjajah tak terima maka dikirimlah
pasukan gabungan sekutu pemenang perang
dunia II yang didalamnya ada tentara Belanda.
Maka selama lima tahun berikutnya terjadilah
perang kemerdekaan di seluruh tanah air.
Kegigihan militer Indonesia yang didukung
penuh rakyat membuat Belanda letih bertempur
dan akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir
Desember 1949.
Inilah cikal bakal nilai kejuangan tentara
Indonesia yang bersama rakyat bahu membahu
menegakkan NKRI. Nilai kejuangan ini
bentuknya adalah militansi, heroik dan
nasionalis memberikan warna dalam langkah
sejarah perjalanan bangsa selanjutnya.
Militernya heroik, rakyatnya nasionalis, itulah
keistimewaan Republik Indonesia.
Pasukan khusus Indonesia dari satuan angkatan
darat, Kopassus sudah jauh hari memberikan
nilai kebanggaan dan martabat bernegara.
Keberhasilan Kopassus dalam membebaskan jet
DC-10 Garuda dan penumpangnya yang dibajak
dalam perjalanan Jakarta-Medan di Bandara Don
Muang Bangkok tanggal 28 Maret 1981
merupakan nilai cum laude yang berhasil
mengangkat harkat satuan elite ini di mata
dunia. Masih banyak prestasi lain yang
dilakukan pasukan loreng darah ini sepanjang
sejarahnya mengawal NKRI.
Garis hidup seorang prajurit adalah bersiap diri
untuk setiap saat maju ke medan penugasan
apakah itu dalam bentuk operasi militer, operasi
intelijen atau operasi kemanusiaan. Negara
nomor satu, keluarga nomor dua. Bentuk
kesiapan itu adalah untuk seluruh organ yang
dia miliki termasuk nyawa yang memang sudah
ada dalam perjanjian mencetak karakter
prajurit. Karakter yang dibentuk melalui
pendidikan dan latihan militer TNI sebenarnya
untuk melahirkan kembali isian benak, isian
hati, isian naluri untuk disatukan pada ikatan
yang bernama mati untuk negara demi
kehormatan dan sebuah harga diri bangsa.
Dalam bingkai tertib sipil, tentara sejatinya tidak
pernah memulai sebuah sebab karena memang
tak ingin memberikan akibat. Tetapi jika
tentara dilukai dan dibunuh secara keji oleh
preman sebagaimana yang terjadi di Yogya baru-
baru ini maka naluri tempur yang dididihkan
melalui semangat patriotik membela NKRI dan
korps akan memberikan letusan lahar dan
semangat hukum qisas. Nyawa dibayar nyawa
karena itu adalah adrenalin yang disumpahkan
dan disusupkan dalam diri seorang tentara.
Itulah yang mestinya dipahami oleh kita karena
karakter tentara adalah kehormatan dan
martabat sebagaimana dia menjaga kehormatan
bangsa dan negaranya.
Semangat untuk menyeimbangkan harkat tentu
sangat kita hormati karena pada dasarnya kita
adalah manusia yang menghargai harkat dan
martabat. Tetapi ketika hendak disandingkan
terhadap dua sebab kematian yang tidak diingini
maka menjadi tidak seimbang ketika kematian
tentara yang nota bene asset penting NKRI tidak
disebut pelanggaran HAM sedangkan kematian 4
preman yang menjadi pemicu disanjung-sanjung
sebagai pelanggaran HAM. Itu sama saja kita
mengamini sebuah terminologi preman lebih
berharga dari tentara.
Okelah, pertanggungjawaban ke 11 prajurit itu
di mata hukum sedang dalam proses. Kita hanya
ingin menyampaikan pesan kepada anak negeri
bahwa meski secara hukum mereka salah tetapi
jika kita mampu memahami bangunan karakter
tentara tentu kita bisa memahami mengapa
serangan balasan itu bisa terjadi. Sangat ironi
tentara dibunuh oleh kelompok preman. Lebih
ironi lagi ketika perjalanan proses menuju
peradilan militer, ada upaya untuk mengangkat
harkat untuk tidak disebut preman dan sekan-
akan hendak menjadikannya sebagai pahlawan.
Sebagaimana yang disampaikan Letnan Jendral
(Purn) Luhut Panjaitan, jika saja masyarakat
tahu "proses" pembunuhan keji anggota
Kopassus di Yogya melalui CCTV maka tentu saja
orang akan memaklumi tindakan balas dendam
itu. Sayangnya reportase pemberitaan media
kita lebih sering mengedepankan drama, bukan
fakta. Drama pemberitaan keluarga 4 preman
diberitakan sebagai kaum yang dizalimi
sementara keluarga tentara yang dibunuh dan
sedang hamil berat "ditelantarkan". Model
media drama seperti ini ditambah
ketidakseimbangan peran Komnas HAM dan
LSM lain memberikan kesan menggiring cara
pandang untuk memojokkan institusi tentara.
Meski demikian, suara hati sebagian rakyat
Indonesia sesungguhnya ada disamping
tentaranya. Simak saja suara itu di hampir
semua media on line dan cetak. Rakyat sudah
makin cerdas memilah dan mencerna. Tindakan
shock terapy tentara di Cebongan sesungguhnya
mewakili suara rakyat cerdas yang sudah muak
melihat ulah preman dan kriminalitas di
sekelilingnya. Meski secara hukum salah tetapi
dalam rangka memberi efek kejut yang mampu
menciutkan nyali preman atau siapa saja pelaku
kejahatan yang menantang tentara, tindakan itu
perlu dan pantas. Pesannya sangat jelas dan itu
adalah karakter sejati tentara, kehormatan dan
harga diri korps sebagaimana tugas utamanya
menjaga kehormatan dan harga diri NKRI.
*****


Sumber : Analisis bung Jagvane / 15 April 2013


Salam penulis

ANCA | ancablogspot-anca.blogspot.com
©copyright 2013

Sent from my BlackBerry® wireless device via Vodafone-Celcom Mobile.

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602 La Pattawe Daeng Soreang Matinroe ri Bettung (Bulukumba) adalah raja Bone ke-9...