Sabtu, 07 Desember 2013

Ambisi Emosi Ekspansi Cina

Sukhoi 35-BM


ancablogspot.com
Minggu-minggu ini terjadi perselisihan serius di
sebuah zone pertikaian gengsi negara. Gengsi itu pula
yang membuat kriteria rasional menjadi berkesan
emosional dan tergesa-gesa. Memperebutkan sosok
gadis manis memang merupakan perjuangan
tersendiri, dengan berbagai upaya untuk mengambil
hati. Cuma "gadis manis" yang satu ini diperebutkan
berbagai negara dengan saling mendahului mengakui
teritori yang bernama Laut Cina Timur (LCT). Cina
tiba-tiba mengumumkan bahwa LCT adalah zona
pertahanan udara dia.
Cina, kekuatan ekonomi nomor dua terbesar di dunia
setelah AS sedang membangun kekuatan militernya
seperti postur kekuatan ekonominya. Menuju Cina
2020 dengan ambisi menjadi kekuatan ekonomi
nomor satu dunia dengan dukungan kekuatan militer
berkemampuan ofensif. Jalan ke arah itu sudah di
depan mata riak gelombangnya. Dua gelombang
panas dia luncurkan sekaligus yaitu menetapkan zone
identifikasi pertahanan udara di LCT dan melayarkan
kapal induk terbarunya Liaoning ke Laut Cina Selatan
bersama iringan destroyer, fregat dan kapal
selamnya.
Ambisi emosi ekspansi Cina yang mulai membabi
buta itu dengan mengumumkan Adiz (Air Defence
Identification Zone) di LCT membuat marah sejumlah
negara. Jepang, Korsel, Taiwan, Australia dan AS
memberikan reaksi keras pada negeri keras kepala
tersebut. Bahkan AS meledeknya dengan
mengerahkan 2 bomber kelas berat B52 melintas
kawasan itu dengan kawalan kapal induk George
Washington dan jet siluman F22 Raptor. Cina tak
bereaksi. Kasus ini semakin membuka mata pandang
kita bahwa Cina akan semakin berbahaya cara
bermain apinya karena terkesan ingin adu otot dan
menciptakan banyak musuh.
Indonesia memang tidak punya konflik teritori dengan
Naga Panda di pulau Natuna. Namun irisan tumpang
tindih teritori di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)
utara Natuna tetaplah harus menjadi kewaspadaan
Indonesia. Sebab juluran lidah naga yang
digambarkan menyapu seluruh LCS dipastikan sampai
hembusannya di perairan Natuna sebagaimana peta
klaim wilayah yang diumumkan Cina jauh-jauh hari.
Di beberapa tulisan terdahulu kita sudah
menggariskan bahwa perairan Natuna dan udaranya
harus berada dalam kawalan yang terus menerus,
bukan sekedar meluncurkan program gugus tempur
laut Tameng Hiu, Tameng Pari atau yang
sebangsanya. Demikian juga dengan patroli udara,
haruslah berupa kehadiran tetap dan terus menerus,
bukan temporer atau situasional. Jelasnya harus
tersedia kapal perang berpeluru kendali dan jet
tempur yang dimarkaskan di Natuna sebagai penegas
dan penguat bahwa Indonesia siap bertarung dengan
siapa saja yang mengganggu teritorinya.
Merapatkan barisan dengan anggota ASEAN yang lain
merupakan opsi "pengobatan alternatif" untuk
mengantisipasi situasi kawasan yang memburuk. Ya
kalau ASEAN 10 agak sulit bersenyawa mengapa
tidak kembali lagi ke ASEAN 8 atau ASEAN 5 alias
negara pendiri ASEAN saja. Mengapa, karena
Kamboja dan Laos sudah ada dalam pengaruh
"hipnotis"Cina. Jadi jangan berharap banyak dengan
dua negeri Indocina itu untuk ikut melawan Cina.
Merapatkan barisan dengan sesama ASEAN 8 atau
ASEAN 5 bermanfaat untuk kesamaan visi dan misi
terhadap kehadiran musuh bersama.
Laut Cina Selatan sedang digoyang dengan
kedatangan kapal induk Cina yang baru dan pertama.
Kapal induk Liaoning dan kapal pengawalnya
termasuk kapal selam minggu-minggu ini
menghampiri perairan dan gugusan pulau-pulau kecil
di kawasan yang mengandung banyak sumber daya
energi fosil itu. Dalam tradisi militer kehadiran
armada kapal "tamu" tentu disambut juga dengan
pengerahan kapal perang atau kapal selam dari
negara di sekitar LCS. Bahkan AS mengirim kapal
selam nuklirnya untuk memantau gerakan armada
kapal induk Cina itu.
Jawaban Indonesia untuk argumen reaksi kedatangan
itu, ya tentu mengirim kapal perang juga ke Natuna.
Namun jawaban visioner RI untuk menyongsong
tahun 2020 jelas memperlihatkan keseriusan
Pemerintah untuk membangun kekuatan militer
sekuat tenaga. Perkuatan militer Indonesia untuk 6
tahun ke depan diprediksi akan mendatangkan
alutsista strategis berupa 8-10 kapal selam, 3-4
destroyer, 10-12 fregat, 3 skuadron jet tempur Sukhoi
Family. Penting untuk diketahui bahwa program
perkuatan alutsista bukanlah merupakan beban atau
expense bagi negara bangsa. Tetapi harus
memandangnya dalam bingkai investasi pertahanan,
nation capital. Tidak sulit mendatangkan asset
pertahanan strategis itu jika ada kemauan yang kuat
bergelora untuk memastikan nilai dan harga
pertahanan bangsa.
Ambisi emosi ekspansi Cina harus disikapi dengan
cara pandang visioner. Persahabatan tetaplah
dijalankan. Tapi postur diri tetap harus
dikuattegarkan sehingga ketika dia tiba-tiba melotot
kita pun balas melotot juga. Meski sejauh ini kita tidak
berkonflik teritori dengan Cina di LCS tetaplah kita
siapkan modal pertahanan diri, memperkuat militer
dan persenjataannya. Sejauh ini geliat militer Cina
merupakan indikator utama untuk mempersiapkan
kekuatan pukul setara. Tetapi manfaat lain tentu
"berguna" pada lingkungan sekitar misalnya Australia,
Malaysia dan Singapura. Negara-negara ini tentu tidak
lagi meremehkan kekuatan milter Indonesia bahkan
cenderung mulai melancarkan jurus "senyum ramah
tamah yang penuh pamrih". Kalau tak percaya kita
lihat saja pada bulan dan tahun-tahun mendatang
sapaan diplomatik mereka.
Sumber: Jagvane/ 07 Des 2013


Penulis & Editor
ANCA | ancablogspot.com
©copyright 2013
Sent from my BlackBerry® wireless device via Vodafone-Celcom Mobile.

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602 La Pattawe Daeng Soreang Matinroe ri Bettung (Bulukumba) adalah raja Bone ke-9...