Sabtu, 09 Maret 2013

INILAH ORANG INDONESIA YANG GENIUS DI LUAR NEGERI

ancablogspot(9.3.13)
1. Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan
sains dan rekayasa masa depan. Inovasi-inovasi
teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada
anak anak muda brilian semacam Nelson Tansu.
Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser
dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser
biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma
perlu 1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah
banyak hal. Tak mengherankan bila pada Mei lalu, di
usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai
profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia
memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda
sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi
asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara
sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia
pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26
tahun. Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini
bila ingin menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Apakah tragedi orang tuanya membikin Nelson benci
terhadap Indonesia dan membuatnya ingin beralih
kewarganegaraan?" "Tidak. Hati Saya tetap melekat
dengan Indonesia," katanya. Nelson bercerita, sampai
kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk
melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih
memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan
menjadikan universitas di Indonesia sebagai
universitas papan atas di Asia.
Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset
kita. Ia tumbuh cemerlang tanpa perhatian negara
sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini menurunkan
liputan khusus mengenai orang-orang seperti Nelson,
itu karena koran ini melihat sesungguhnya kita cukup
memiliki ilmuwan dan pekerja profesional yang
berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya
tenaga kerja Indonesia. Kita memiliki sejumlah Nelson
lain—di Amerika, Eropa, dan Jepang. Orang orang
yang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan
bisa memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan
Indonesia.
2. Muhammad Arief Budiman
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic,
salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di
negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah "dagadu"—
sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap
terlihat sedang salat. Dialah Muhammad Arief
Budiman. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu
ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu
SMP, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang
menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya:
Kepala Library Technologies Group. Menurut
BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam
eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang
mempelajari gen, pembawa sifat pada makhluk hidup.
Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan:
dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi
lingkungan, hingga menjawab kebutuhan pangan
dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya.
Namanya juga moncer di antara sejawatnya di negara
yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut:
menjadi anggota American Society for Plant Biologists
dan—ini lebih bergengsi baginya karena ia ahli
genetika tanaman—American Association for Cancer
Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan
biasa. Dokter bertitel PhD pun belum tentu bisa
"membeli" kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang
bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif
meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus
membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih
dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan
kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief
mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar
belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya
banyak melakukan riset genetika mengenai kanker
manusia," ujarnya.
Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah
Indonesia yang sedang diputar ulang. Pada akhir
1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman
kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan
Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta emas
dalam sejarah genetika karena temuannya tentang
genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom
manusia berjumlah 46 buah—bukan 48 seperti
keyakinan ahli genetika manusia di masa itu ("The
Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42:
halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada
2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat
setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan
kromosom manusia pada preparat gelas yang
dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas University,
Amerika Serikat.
3. Prof Dr. Khoirul Anwar: Terinspirasi Kisah
Fir'aun
Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi
Firaun. Siapa mengira tiga benda sepele itu ada
gunanya. Tapi itulah trio yang "menghidupkan" pria
kampung seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi
ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal Dusun Jabon,
Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri,
Jawa Timur, itu memegang dua paten penting di
bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para
ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten
pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak
pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon
seluler.
Graduated from Electrical Engineering Department,
Institut Teknologi Bandung (with cum laude honor) in
2000. Master and Doctoral degree is from Nara
Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005
and 2008, respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE
Best Student Paper award of IEEE Radio and Wireless
Symposium (RWS) 2006, California, USA.
Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem
telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal
Frequency Division Multiplexing) adalah seorang
Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara
Institute of Science and Technology, Jepang.
Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal
frequency division multiplexing. Hasilnya, kecepatan
data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya,
melainkan malah meningkat. "Kami mampu
menurunkan power sampai 5dB=100 ribu kali lebih
kecil dari yang diperlukan sebelumnya," kata dia.
Dunia memujinya. Khoirul juga mendapat
penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri
oleh Konsulat Jenderal RI Osaka pada 2007.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan
sesuatu yang tak lazim. Untuk mencapai kecepatan
yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali
guard interval (GI). "Itu mustahil dilakukan," begitu
kata teman-teman penelitinya. Tanpa interval atau
jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis
seperti di kelas saat semua orang bicara kencang
secara bersamaan.
Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa.
Namun, dengan algoritma yang dikembangkan di
laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan
interferensi tersebut dan mencapai performa (unjuk
kerja) yang sama. "Bahkan lebih baik daripada sistem
biasa dengan GI," kata pria 31 tahun ini.
Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu
Khoirul kecil tak terobsesi pada bangkai burung,
balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun.
Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun,
yang badannya tetap utuh sampai sekarang. Dia pun
ingin meniru melakukan teknologi "balsam" terhadap
seekor burung kesayangannya yang telah mati. "Saya
menggunakan balsam gosok yang ada di rumah,"
kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum)
dengan Siti Patmi itu.
Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan
burung tersebut bisa awet dan mengeras. Dengan
semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung
tersebut dengan balsam gosok. Sayangnya, hari demi
hari berjalan, kata anak petani ini, "Teknologi balsam
itu tidak pernah berhasil." Penelitian yang gagal total
itu rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa
pada Khoirul. Itulah yang mengantarkan alumnus
Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung
tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang.
Dia mengajar mata kuliah dasar engineering,
melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa.
Saat ini Khoirul sedang menekuni dua topik penelitian
yang dilakukan sendiri dan enam topik penelitian yang
digarap bersama enam mahasiswanya.
4. Andrivo Rusydi: Koki Teknologi Nano
Pemuda 33 tahun ini mesti wira wiri antarbenua
sepanjang tahun untuk menjalani riset-risetnya di
bidang teknologi nano. Ia memang salah satu dari
sedikit anak bangsa negeri ini yang menguasai
teknologi pengontrol skala atom dan molekul itu.
Sebuah keahlian yang—terutama—banyak dibutu*kan
di negara maju.
Maka negeri-negeri semacam Singapura, Amerika
Serikat, Jerman, dan Kanada membuka lebar-lebar
pintu riset bagi urang awak ini. Mari kita lihat jejak-
jejak kejeniusannya, yang sudah diakui dunia
internasional, itu. Saat ini Andri adalah peneliti tetap
dan pengajar mata kuliah nanotechnology dan
nanoscience di Universitas National Singapura (NUS).
Di universitas ini pula ia mendapatkan gelar profesor
pada usia 31 tahun. Sejak awal tahun ini, dia diangkat
menjadi anggota Singapore International Graduate
Award atau supervisi para doktor lulusan NUS.
Lalu, di Jerman, suami Sulistyaningsih ini menjadi
profesor tamu pada Center for Free Electron Laser dan
Institute for Applied Physics of University of Hamburg.
Di sini, selain mengajar, Andri membimbing
mahasiswa diploma sampai doktoral.
Penjelajahannya yang intensif di ranah teknologi nano
juga membuat sulung dari empat bersaudara ini juga
menjadi peneliti tamu di Departemen Fisika
Universitas Illinois di Urbana, Amerika Serikat, dan
Universitas British Columbia, Kanada.
Jejak akademisnya memang terpacak hingga ke
berbagai pelosok dunia. Tak hanya itu, teknik riset
yang ia kembangkan kemudian dimanfaatkan di
berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Prancis,
Korea, Jepang, Australia, Jerman, Kanada, dan Taiwan.
Dengan reputasi akademik internasional semacam
itu, Andri tak ingin terlena. Dia ingin berbakti kepada
tanah airnya untuk memajukan dunia ilmu di negeri
ini. Caranya lewat kerja sama penelitian dan beasiswa
tingkat doktoral dari dana-dana penelitian yang
diperolehnya
5. Dr Warsito P. Taruno: pemilik Edwar
Technology
Robot itu bernama Sona CT x001. Di sebuah jendela
ruko di perumahan Modernland, Tangerang, robot
yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung
gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar
laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa
dua pekan lalu itu, Sona—buatan Ctech Labs (Center
for Tomography Research Laboratory) Edwar
Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan
PT Citra Nusa Gemilang, pemasok tabung gas bagi
bus Transjakarta. "Di dalam ruko tidak ada tempat lagi
untuk menyimpan Sona dan udaranya panas," kata Dr
Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar
Technology.
Sona harus berada di ruangan yang suhunya di bawah
40 derajat Celsius. Perusahaan migas Petronas, kata
Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka
masih dalam tahap negosiasi harga dengan
perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia
tersebut. Selain Sona, Edwar Technology mendapat
pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat.
Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar
Rp 10 miliar.
Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun
memakai teknologi pemindai atau Electrical
Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan
Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem
pemindai komponen dielektrik seperti embun yang
menempel di dinding luar pesawat ulang-alik yang
terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu bisa
mengakibatkan kerusakan parah pada saat
peluncuran karena perubahan suhu dan tekanan
tinggi.
ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu
melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar
dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi
ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi
mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik
Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991.
Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin
membuat teknologi yang mampu "melihat" tembus
dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek
yang opaque (tak tembus cahaya). Dia lantas
melakukan riset di Laboratorium of Molecular
Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo
Uchida.
6. Sonja dan Shanti Sungkono: Si Kembar
Penakluk Berlin
Penampilan mereka memukau publik musisi klasik,
dari Eropa hingga Amerika. Diganjar pelbagai
penghargaan internasional bergengsi.
Suatu hari, di hadapan publik musik klasik Berlin,
Jerman, penampilan duo pianis kembar Sonja dan
Shanti Sungkono tampak eksotis. Di atas pentas,
tubuh kedua perempuan berwajah Jawa ini dibalut
kebaya dengan siluet brokat keperakan. Rambut
mereka disanggul. Penampilan keduanya jauh dari
penampilan panggung para musisi klasik yang
konservatif—yang umumnya muncul dengan gaun
panjang warna hitam.
Duet Sonja-Shanti tak sedang ingin tampil unik,
apalagi nyentrik, dengan gaya tersebut. Model
penampilan itu boleh dibilang telah menjadi ciri khas
sekaligus identitas mereka sebagai perempuan
Indonesia dalam pelbagai pentas di mancanegara.
Selain penampilan, dalam setiap pertunjukan,
keduanya selalu memperkenalkan diri sebagai duo
pianis Indonesia. "Dari penampilan saja kelihatan,
kami bukan orang Jerman," kata keduanya, yang sejak
1991 bermukim di Berlin.
Toh, bukan lantaran penampilan itu yang membuat
mereka memukau. Kepiawaian jari-jari mereka menari
di atas tuts pianolah yang dikagumi penikmat musik
klasik, baik di Jerman maupun di kota-kota besar lain
di mancanegara.
Bahkan permainan Sonja-Shanti telah mencuri
perhatian para musisi dan kritikus musik klasik Eropa.
Di Jerman, penampilan mereka dipuji sebagai, "Benar-
benar pertunjukan yang indah, mengagumkan, dan
profesional."
Prestasi mereka pun patut dibanggakan. Mereka
meraih Jerry Coppola Prize dalam lomba duet piano di
Miami, Amerika Serikat, pada 1999. Dua tahun
berturutturut, 2001 dan 2002, mereka menyabet Prize
Winners Juergen Sellheim Foundation di Hannover,
Jerman. Lalu pada 2002 menjadi juara ketiga Torneo
Internazionale di Musica di Italia. Terakhir, mereka
menggondol Prize Winners pada National Piano Duo
Competition di Saarbrucken, Jerman, pada 2003.
Album pertama mereka, Works for Two Pianos, dirilis
pada 2002. Dua tahun berselang, Sonja-Shanti
menelurkan album kedua bertajuk 20th Century Piano
Duets Collection. Kedua album berformat CD itu di
bawah label NCA Jerman. Peredaran album kedua
lebih luas dari yang pertama.
Selain di Jerman, album tersebut beredar di Prancis,
Italia, Austria, Swedia, Jepang, dan Amerika. Kedua
album itu juga mendapat apresiasi yang cukup
antusias dari sejumlah media musik klasik di Eropa.
Selain itu, kedua album tersebut masuk arsip
Perpustakaan Musik Naxos—produser musik klasik
dunia yang menyimpan sekitar 36 ribu album.
7. Ari Munandar: Executive Chef Asia Di Eropa
Koki asal Korea Selatan itu berusia di kisaran 30 tahun
dan bekerja di satu hotel di Praha. Suatu hari ia
meminta bertemu dengan Ari Munandar, ahli masak
kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang sekarang
memimpin pasukan koki di Hotel Hilton Praque Old
Town, Praha, Republik Cek.
Tanpa basa-basi ia mengatakan ingin direkrut dan
bekerja di bawah Ari, yang jabatan resminya biasa
disebut executive chef atau chef de cuisine.
Mengapa? "Karena Anda satu-satunya executive chef
dari Asia di Eropa," begitu Ari menirukan ucapan koki
Korea Selatan itu kepada dirinya.
Executive chef merupakan jabatan sangat bergengsi,
apalagi di jaringan hotel top seperti Hilton. Ari, yang
baru berusia 37 tahun, sebelumnya tidak pernah
berpikir ia satu-satunya executive chef asal Asia di
hotel berbintang lima di Eropa. Tapi, setelah ia coba
mencari tahu, ucapan koki Korea itu mungkin benar.
Tidak ada nama Asia—termasuk dari Jepang—yang
menjadi executive chef di hotel prestisius di Eropa.
"Kecuali di Amsterdam, mungkin," kata Ari. Di
Amsterdam, ada beberapa koki top asal Indonesia.
Wajar bila Ari menepuk dada. Lebih bangga lagi
karena sekitar tiga bulan silam, saat mulai pindah ke
Zinc di Hilton Praque Old Town, ia masuk berita di
media massa setempat. Sebelum Ari masuk, Hilton
memiliki restoran bernama Maze yang dikelola koki
top yang bahkan sudah menjadi pesohor di Inggris,
Gordon Ramsay. Tiba-tiba saja Ramsay menarik Maze
dari Hilton sehingga mereka meminta Ari pindah ke
tempat mereka. Saat proses perpindahan Ari ke Hilton,
tanpa diduga Maze—yang sudah akan ditutup—
mendapat bintang Michelin. Anugerah ini
penghargaan paling bergengsi dunia bagi sebuah
rumah makan.

Sumber Rimanews

Salam penulis
ANCA | ancablogspot-anca.com
Sent from my BlackBerry® wireless device via Vodafone-Celcom Mobile.

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602

La Pattawe Matinroe ri Bettung Raja Bone ke-9 Tahun 1565-1602 La Pattawe Daeng Soreang Matinroe ri Bettung (Bulukumba) adalah raja Bone ke-9...