ancablogspot.com ©copyright 2013
Target TNI di Minimum Essential Force (MEF) I untuk
mengantisipasi konflik/sengketa wilayah dengan
negara tetangga di utara, seperti Kasus Ambalat, bisa
dikatakan berhasil. Berhasil dalam artian
mengumpulkan senjata yang mematikan dan memiliki
daya gentar yang tinggi. Untuk pertempuran di garis
perbatasan maupun pertempuran anti-gerilya,
keberadaan Apache AH-64E Guardian, Mi-35, MBT
Leopard, serta pesawat tempur Super Tucano, akan
menjadi mimpi buruk bagi lawan.
Akan tetapi Apache AH-64E Guardian, Mi-35, MBT
Leopard 2A4 serta Super Tucano menjadi tidak berarti,
ketika ada negara lain yang melakukan serangan
dengan pesawat tempur dan bomber. Keempat
Alutsista itu tidak berdaya, ketika ada skadron pesawat
musuh melakukan serangan kilat dan membom obyek
vital di Indonesia.
Australia sempat berpikir untuk membom Jakarta
dengan F-111 Aadvark, ketika pasukan Untaet yang
hendak mendarat di Timor Timur pasca jejak pendapat
1999, hendak dihalangi militer Indonesia. Jika
serangan itu terjadi, bombardir yang mereka lakukan
terhadap obyek vital, besar kemungkinan akan
mendapatkan hasil, meski beberapa fighter atau
bomber mereka berhasil dirontokkan fughter
Indonesia.
Dalam program MEF I, TNI terus menambah radar
untuk dapat memonitor seluruh wilayah udara
Indonesia. Namun apalah artinya radar, jika tidak bisa
menembak.
Indonesia terlalu luas untuk sekedar memiliki satu
skuadron heavy fighter SU-27/30. Apalagi pesawat-
pesawat tempur negara di sekitar Indonesia akan terus
semakin canggih. Australia dan Singapura sebentar
lagi akan memiliki F-35. Malaysia sedang
mempertimbangkan untuk membeli F/A 18 E/F
Advance. Singapura juga memiliki F-15 Silent Eagle.
Belum lagi pesawat-pesawat tempur stealth China
seperti Chengdu J-20.
F-35 Joint Strike Fighter
Mungkin kita masih ingat ketika F-16 Indonesia
menyergap F/A-18 Hornet USAF di wilayah Bawean.
Namun F-16 Indonesia tidak bisa berbuat banyak,
kerena pesawat lawan memberikan gertakan yang
lebih kuat. Kehadiran 24 pesawat F-16 block 25 eks US
Air Guard, tidak cukup signifikan untuk meningkatkan
kemampuan Angkatan Udara Indoesia. AS sendiri
hanya menggunakan F-16 block 25 sebagai armada
perang lapis kedua. Pasukan pemukul udara AS untuk
fighter jenis F-16 berkualifikasi Block 40/42 ke atas.
F/A-18 Hornet USAF (photo: USAF)
Coba bayangkan akan seperti apa bila F-16 block 25
Indonesia berhadapan dengan F-35 Australia dan
Singapura ?. Yang ada pesawat tersebut akan balik
kanan, kembali ke markas. Lain halnya jika Indonesia
telah memiliki sistem pertahanan anti-udara jarak jauh
– menengah seperti S-300 family. Tidak akan mudah
bagi pasukan asing untuk menerobos wilayah
Indonesia dan F-16 bisa menutup lubang yang masih
ditinggalkan S-300.
Praktis sekarang Indonesia hanya memiliki 1 skadron
pesawat heavy fighter SU 27/30 untuk mengkover
wilayah Indonesia yang demikian luas. Tentu hal itu
tidak mencukupi.
Jangan pernah berpikir tidak akan ada perang, karena
jika perang itu benar-benar datang, maka porak
porandalah kita, karena salah mengambil asumsi.
Inggris tidak pernah berpikir akan berperang dengan
Argentina yang merupakan sahabat perdagangan
mereka. Namun faktanya, perang itu mendatangi
Inggris. Begitu pula dengan kasus ancaman Australia
maupun provikasi yang dilakukan Malaysia di Ambalat.
Sebelumnya, kita tidak pernah berpikir hal itu akan
dilakukan tetangga kita.
Kabar gembira muncul dari Panglima TNI Jenderal
Moeldoko, Kamis 26 September 2013, bertempat di
Surabaya. Panglima TNI tertarik untuk membeli SU 35,
untuk memperkuat Skadron SU-27/30 yang dimiliki
Indonesia saat ini.
"Syukur kali ini pesawat tempur Sukhoi sudah satu
skuadron. Diharapkan akan ada lagi pembelian jenis
SU-35 karena lebih canggih. Semoga perekonomian
bisa semakin membaik, sehingga negara bisa
membeli alutsista sebagai penguatan NKRI," kata
Moeldoko (republika.co.id/ 26/09/2013).
Jika Sukhoi Su-35 jadi dibeli pada MEF II (2015-2019),
kekuatan angkatan udara Indonesia, cukup gagah
untuk meladeni pesawat tempur asing yang mencoba
menyerang Indonesia.
Untuk mendapatkan air superiority, Indonesia
membutuhkan setidaknya tambahan 3 skuadron
Sukhoi, yang tentunya keberadaannya lebih powerfull
dibandingkan Helikopter Apache maupun MBT Leopard.
Sukhoi akan dapat bergerak cepat untuk menutup
celah yang ada di udara Indonesia ataupun untuk
mengusir pesawat yang menyusup.
Pesawat Tempur SU-35BM
Jika radar Indonesia mendeteksi adanya serangan
musuh, Indonesia tidak bisa menembaknya dengan
Apache AH-64E ataupun MBT Leopard, melainkan
angan udara. Apache dan Leopard hanya dibutuhkan
Indonesia ketika musuh telah mendarat ke tanah
Indonesia. Hal itu hanya bisa terjadi jika air superiority
dan sistem pertahanan udara Indonesia, telah
dilumpuhkan musuh.
Pasukan multinasional yang dipimpin AS, hanya
melakukan serangan darat ke Irak, setelah air
superiority dan sistem pertahanan anti serangan udara
dilumpuhkan terlebih dahulu. Sementara dalam kasus
peperangan di Serbia, AS tidak berani melakukan
serangan udara/ bombardir, karena satelit mata-
matanya menangkap ada beberapa baterai S-300
yang digelar oleh Serbia. Padahal usai perang
diketahui sebagian besar baterai itu hanyalah dummy
alias palsu.
Pada MEF II, TNI harus bisa membuat Angkatan Udara
berada pada level pasukan yang disegani lawan
(having a respectable Air Force), yang bertujuan untuk
membuat pihak asing berpikir puluhan kali jika hendak
menganggu wilayah Indonesia.
Meskipun Indonesia merasa yakin tidak ada musuh
potensial saat ini, namun mengamankan wilayah
udara adalah sangat penting, karena dari situlah
wibawa negeri Indonesia ditegakkan. Rudal
pertahanan udara, UAV serta pesawat tempur modern
dibutuhkan Indonesia, walau jumlahnya masih sedikit.
Efek deteren itu antara lain dimunculkan oleh adanya
pesawat tempur yang modern/ up to date, bukan
pesawat lawas. Sudah waktunya Indonesia merogoh
sakunya di MEF II, untuk kebutuhan tersebut.
Sumber : JKGR
Salam penulis
ANCA | ancablogspot.com
©copyright 2013
Sent from my BlackBerry® wireless device via Vodafone-Celcom Mobile.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar